
Kalau ngomongin musik keras di Indonesia, biasanya bayangan langsung ke death metal, grindcore, atau thrash yang sudah lama jadi tulang punggung skena. Tapi 2025 ini terasa beda. Ada satu genre yang tiba-tiba nyolong spotlight: metalcore.
Buat lo yang sering nongkrong di gigs underground sampai scroll TikTok, fenomena ini jelas kelihatan. Lagu-lagu metalcore muncul di video lipsync, reaction, sampai tren workout, dan yang paling heboh justru datang dari Gen Z. Mereka nggak cuma jadi penonton, tapi juga aktif bikin konten, ikut moshing, bahkan ngeramein hashtag #metalcoreIndonesia di media sosial. Pertanyaannya, apakah metalcore tren 2025 Indonesia ini cuma hype sesaat, atau beneran bakal jadi wajah baru musik keras kita?
Kenapa Metalcore Dekat dengan Gen Z
Salah satu alasan kenapa genre ini meledak adalah karena metalcore terasa sangat relate. Musiknya fleksibel, bisa keras banget dengan breakdown yang bikin crowd pecah, tapi juga mellow dengan chorus clean yang gampang dinyanyiin bareng. Liriknya pun dekat dengan keresahan anak muda masa kini—tentang mental health, toxic relationship, sampai drama percintaan yang bikin pusing.
Beda dengan death atau thrash metal yang biasanya lebih banyak membahas politik, kritik sosial, atau kematian, metalcore terasa lebih personal dan akrab dengan keseharian audiens muda. Itulah kenapa chorus sing along dalam genre ini cepat sekali berubah jadi anthem. Gen Z bisa moshing brutal di satu momen, lalu beberapa detik kemudian bernyanyi bersama dengan lantang. Dua dunia bertemu di satu panggung.
Dorongan Tren Global
Naiknya metalcore di Indonesia jelas nggak bisa dilepaskan dari pengaruh global. Nama-nama seperti Sleep Token, Bad Omens, Spiritbox, dan Lorna Shore kini sering viral di TikTok maupun YouTube. Potongan breakdown mereka jadi bahan remix, reaction video, sampai meme.
Fenomena global itu makin kuat ketika awal 2025, Amy Lee (Evanescence) berkolaborasi dengan Courtney LaPlante (Spiritbox) dan Poppy lewat single End Of You. Lagu ini langsung viral karena liriknya yang relate dengan drama toxic vibes sehari-hari. Kolaborasi tersebut jadi bukti bahwa musik keras bisa emosional, catchy, dan tetap nyambung dengan audiens mainstream tanpa kehilangan identitas. Efeknya ikut terasa di Indonesia, jadi validasi kalau metalcore tren 2025 Indonesia memang sedang ada di puncak hype.
👉 (Baca juga: Kolaborasi Epik Trio Metal Queen, Amy Lee, Courtney Laplante, Poppy)

Band Lokal Mulai Masuk Radar
Tren global itu langsung menular ke skena lokal. Band-band metalcore Indonesia bermunculan dengan karakter uniknya masing-masing. 510 hadir dengan sound modern yang terasa dipengaruhi Sleep Token dan Spiritbox. Riverinks dikenal lewat penampilan live mereka yang emosional dan bikin crowd larut. Sementara itu, Eternal dan Revenge The Past menunjukkan bagaimana generasi baru bisa memanfaatkan distribusi digital untuk lebih cepat dikenal. Bahkan Mothrahead sudah mulai disebut-sebut di forum internasional karena konsistensi sound yang mereka tawarkan.

Semua ini jadi bukti bahwa wajah musik keras lokal sedang berevolusi. Metalcore bukan sekadar alternatif, tapi simbol keberanian generasi muda untuk mendobrak batasan lama dan menghadirkan energi segar ke skena.
Gigs dan Festival Jadi Barometer
Kalau mau tahu arah musik keras, gampangnya lihat panggung gigs dan festival. Hammersonic 2025 misalnya, jadi salah satu barometer penting. Crowd terlihat lebih responsif terhadap band-band modern core, dan video moshing dengan hashtag #metalcoreIndonesia membanjiri TikTok.
Perbedaan vibe juga makin jelas. Kalau death atau black metal biasanya identik dengan circle pit brutal tanpa banyak interaksi vokal, di gigs metalcore justru ada momen sing along yang cair. Ini bikin suasana lebih ramah buat pendatang baru, tapi tetap intens bagi mereka yang sudah lama ada di skena.
Dari Tren Menuju Era Baru
Lalu muncul pertanyaan besar: apakah metalcore ini cuma fase musiman atau awal dari sebuah era baru?
Melihat situasi sekarang, tanda-tandanya genre ini bakal bertahan cukup lama. Gen Z yang jadi tulang punggung audiens digital terus mendorong genre ini naik ke permukaan. Chorus catchy dan breakdown brutal terbukti gampang dijadikan bahan konten, sehingga relevan dengan algoritma platform modern. Band-band lokal juga mulai menunjukkan konsistensi merilis karya, bukan sekadar ikut-ikutan hype.
Meski begitu, realitasnya skena musik keras Indonesia tetap plural. Death, thrash, hardcore, dan black metal masih punya basis loyal yang kuat. Karena itu, metalcore mungkin tidak akan menggantikan, melainkan menjadi pintu masuk generasi baru sebelum mereka mengeksplor subgenre ekstrem lainnya.
Flashback: Gema Era 2010-an
Buat yang sudah lama mengikuti skena, pasti ingat era 2010-an ketika Asking Alexandria, Bring Me The Horizon, dan Miss May I jadi pintu masuk kids baru ke musik keras. Waktu itu pun metalcore sempat jadi hype. Bedanya, sekarang dunia digital membuat semuanya lebih masif.

Kalau dulu band harus promosi lewat media tradisional atau gigs terbatas, sekarang satu video viral di TikTok bisa mengangkat nama band dalam semalam. Produksi musik yang lebih mudah dan murah juga bikin band kecil bisa langsung bersaing dengan yang besar. Inilah yang membuat generasi baru metalcore punya peluang lebih besar untuk bertahan dibanding satu dekade lalu.
Kesimpulan: Soundtrack Generasi Baru
Melihat semua tanda tersebut, jelas bahwa metalcore tren 2025 Indonesia bukan sekadar hype sementara. Genre ini sudah menjadi soundtrack generasi baru—wajah segar yang bikin musik keras terasa lebih luas, relatable, dan lebih dekat dengan realita anak muda.
Apakah tren ini bakal terus berlanjut sampai 2026 dan seterusnya? Sangat mungkin, selama band-band lokal konsisten berkarya dan komunitas tetap mendukung. Tahun 2025 bisa jadi dikenang sebagai titik balik, saat wajah musik keras Indonesia berubah lewat breakdown, scream, dan chorus metalcore yang bikin crowd sing along tanpa ragu.